Nonton film dan Diskusi Riwayat Sriwedari
Nonton film dan Diskusi Riwayat Sriwedari
Departemen Kajian Ilmiah Keluarga Mahasiswa Administrasi Publik (KMAP) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) menyelenggarakan kegiatan Nonton film dan Diskusi Riwayat Sriwedari di Public Space 3 FISIP UNS , Rabu, 4 April 2018 dengan mengundang narasumber Dr. Susanto M.Hum, Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret dan diikuti tak kurang 70 orang, berasal dari masyarakat serta mahasiswa Universitas Sebelas Maret.
Dalam paparannya Susanto menyampaikan tentang sejarah Sriwedari dan Problem Cagar Budaya Di Solo. Sejarah Taman Sriwedari dibangun sejak 1899 oleh Pakubuwana X dan mulai difungsikan pada 1901 di suatu tempat yang bernama Kadipolo. Sriwedari pada mulanya berupa taman dan kebun binatang. Sejak 1915 berkembang menjadi taman, kebun binatang dan museum. Mengenai status tanah Sriwedari berdasarkan Rijksblad van Soerakarta 1917 No. 13 yang ditandatangi oleh Patih KRMTH Adipati Djojonagoro dan Residen Surakarta Sollewijn Gelpke, adalah tanah milik kerajaan Kasunanan Surakarta (siti dalem ). Status tanah Sriwedari ini berubah kepemilikannya sejak 1946 menjadi milik negara Republik Indonesia, berdasarkan PP No. 16/SD/1946 tentang Pemerintahan Daerah Istimewa Djokjakarta dan Surakarta. Status berubah kembali menjadi milik Kasunanan Surakarta sejak 20 Desember 1948. Kemudian status berubah sampai sekarang menjadi milik negara RI melalui Pemerintah Kota Surakarta sejak ditetapkannya UU No. 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah.
Keberadaan Sriwedari juga tak luput dari konflik. Pertama adalah sengketa lahan antara Pemkot Solo dengan ahli waris KRMT Wirjodiningrat yang menjadi masalah utama di Sriwedari. Rebutan lahan seluas 9,9 hektar tersebut sudah dimulai sejak 1970. Masing-masing pihak saling klaim dengan alasannya sendiri; Pemkot Solo merasa Sriwedari adalah tanah negara, sedangkan ahli waris berpendapat Sriwedari milik Kraton Kasunanan. Permasalahan diatas sudah sampai di Mahkamah Agung (MA) dan telah menetapkan lewat putusan kasasi bahwa ahli waris Wirjodiningrat (adik ipar PB X) adalah pemilik lahan Sriwedari pada 2012. Berkenaan dengan penolakan PK terakhir, pihak Pemkot tak tinggal diam. Sebuah tim sudah dibentuk dan bekerja pada 25 -27 Juli 2017 lalu. Hasilnya: tim menemukan kejanggalan dalam sengketa lahan Sriwedari. Berdasarkan kajian yang dilakukan, ahli waris KRMT Wirjodiningrat tidak bisa membuktikan penetapan sebagai ahli waris. Maka dari itu, putusan MA tidak bisa dijalankan. Pemkot Solo beralasan secara de facto Sriwedari dikelola pemerintah. Ditambah, menurut pemerintah, ahli waris tidak bisa menunjukkan bukti yang memperkuat status ahli waris mereka. Atas dasar itu, status tanah Sriwedari dikuasai langsung oleh negara.
Kedua, Polemik terkait pembangunan Masjid Raya Taman Sriwedari, meskipun beberapa pihak Pemkot Surakarta meyakini polemik lahan Sriwedari bukanlah sebuah permasalahan. Seperti yang ditulis dalam salah satu media bahwa Pembangunan Masjid Raya Taman Sriwedari menyalahi kodrat dan beberapa diantaranya menolak pembangunan masjid tersebut . (Baca : http://www.jatengpos.com/2018/01/pembangunan-masjid-sriwedari-solo-menyalahi-kodrat-889660). Namun demikian Pihak Pemkot Surakarta dan panitia pembangunan masjid tidak mengabaikan penolakan oleh sejumlah kelompok masyarakat yang menolak pembangunan masjid raya dibangun di atas lahan bekas THR Sriwedari. Dan menegaskan, bahwa lahan yang hendak dibangun masjid merupakan milik Pemkot Surakarta sesuai dengan Hak Pakai nomor 46 dan 41, lahan Sriwedari jelas milik negara. (Maryani FISIP UNS)